Sabtu, 25 Mei 2013

Banjir Cita-Cita


            
            
           
            Nur Izzah Millati

Selalu saja pertanyaan tentang cita-cita itu mengusik kesunyianku. Sederhana bukan, setiap orang bertanya tentang ingin jadi apa dirimu. Bukankah orang hidup untuk yang akan datang. Dalam hal menjawab itulah, selalu kepala dan tubuh  sibuk dengan aneka rutinitas. Kadang gagal, tetapi sering harus memaksa agar tak diam. Hingga setitik cahaya bersinar. Walau setahuku , ada sejuta  hasrat yang akan ditawarkan kala pertanyaan itu disodorkan.

 Aku bukan orang hebat yang menjawab sebuah pertanyaan dengan pernyataan yang tak pernah terlintas dalam benak yang lainnya. Ingat dulu sewaktu kecil, dengan semena-mena kuumumkan pada setiap yang bertanya, aku ingin menjadi Polwan. Di kelas Menengah pertama, saat seorang guru bertanya hal serupa, kusebut semauku, tanpa pikir bisa atau tidak mencapainya “Ingin jadi dokter.” Ketika lulus sekolah menengah keatas, aku mulai sadar jawabanku itu tak berdasar. Dan pertanyaan serupa selalu berulang, “Apa cita-citamu?.”

Toh hingga sekarang hal itu masih tersembunyi entah dimana. Yang sudah tak kucapai. Bahkan cita-cita itu masih menggantung membentuk imaji sendiri. Imaji yang datang dari cerita orang-orang hebat. Dirak-rak toko buku yang paling bergengsi. Dilayar kaca yang sejak kecil menghantui. Sebuah ruang kosong masih kutemui, saat hadir tanya menjelang. Sering kucoba membunuh kalimat itu.  Tapi semakin lama, semakin menyata syetan dalam kitab-kitab suci.  

Pagi ini aku di ruang sama. Banjir tinta sewarna. Hitam  yang  sering membuat mulutku biru kelu.  Meski cuma sepasang mata dengan bulat hitam  kecil dan bulat coklat lebar, lalu keputih-putihan menyebar. Lamat-lamat  aku memperhatikannya. Menatapnya. Sinarnya jauh lebih banyak menyinarkan cahaya. Berbagai warna memancar dari sepasang hitam kelam itu. Menyenangkan dan membahagiakan yang Banyak .  Sebuah mata yang tak kumiliki. Aku menatapnya, tetapi mataku lunglai ke tanah. Lalu sejenis keyakinan yang masih kupegang erat mengingatkanku, menghentikan apa saja yang berputar. Kurapal mantra-mantra tak bertuan. Hanya supaya tidak membelalak atau membanjiri milik sendiri.     

Mata yang sama hitam legam. Bahkan ketika tubuhnya tak ada, mata itu terus menemaniku. Kadang-kadang menentramkan, tapi Sumpah! lebih sering menakutkan. Menjadi hantu yang tiba-tiba datang. Kadang-kadang aku pura-pura merasa kalau mata itu menghilang. Aku melangkah dengan setitik mata lain. Kira-kira 180 derajat dengan cara dia melihat.

 Suatu hari  dengan segala perhitungan. Kalau mata itu tak akan dapat melihatku, jika mata itu tak akan mungkin bisa menyelinap di lubang ini. Ia tak mungkin dapat tahu lubang sekecil ini.  Kumasukkan tubuhku dalam lubang paling kecil dan paling hitam. Di kota ini,  hanya sejumput tubuh yang mau meleburkan tubuhnya ke dalam. Aku yakin, dengan kebenaran tanpa cela, mata itu tak mungkin dapat melihat.  Dalam penuh keyakinan itu, sebelum masuk ke lubang itu, kusimpan mata-mata yang masih menggantung dalam tubuhku. Kutempatkan ia di mall-mall  agar ia tak kesepian atau lupa  tugas mengawasiku.

Bagai seorang bayi yang baru dilahirkan, aku menangis sejadi-jadinya dalam lubang itu. Kuhirup air susu siapapun yang disodorkan ke mulutku. Kuayunkan tubuhku sejadi-jadinya, hingga kepalaku pusing dan tubuhku terkulai.

“Apa yang kau cita-citakan?”                                           
Aku hanya diam. Tetapi mulutnya semakin lebar menganga.
“ Jawablah, apa kau tak ingin sesuatu?”
“ Untuk yang akan datang? Untuk mengantisipasi segala kesedihan? Untuk memastikan terangnya cahaya tubuhmu? Agar ketika kau mati nisanmu dikunjungi banyak orang. Agar ketika seorang pendeta mengenangmu, ia tidak harus berbohong pada jemaatnya. Kau tahu itu kan, sebuah cita-cita yang akan membuatmu selalu hidup. Agar hidupmu tidak berhenti hanya pada satu titik. Supaya semua mata memandangmu dengan mata penuh kekaguman. Oh…tidak…tidak perlu, yang penting hanya satu, hanya sebuah pertanyaan satu saja, agar kau tak sendirian.”

Kutatap matanya dalam-dalam. Kubelai rambutnya yang hitam kelam. Kuelus-elus pipinya yang empuk. Kukulum bibirnya seperti seorang kekasih yang lama tak bersua. Kujilati hidungnya yang tak pernah kupunya. Satu persatu kusesap  keringat diwajahnya. Lalu pelan-pelan kutempelkan mulutku ketelinganya,
“Aku ingin mencongkel sepasang matamu.”
             

            

Jumat, 11 Januari 2013


Mitos Bencana  Merapi 

Dahsyatnya letusan gunung merapi 2010 merupakan fakta yang telah kita ketahui bersama. Semua orang dapat melihat buktinya melalui berbagai media yang berjuta jumlahnya.  Tetapi realitas itu tentu dapat dipandang dari berbagai sudut yang kemudian dibingkai   menjadi realitas buatan, realitas yang sedang dan ingin dibentuk manusia.

Pasca erupsi itu, sebuah realitas buatan  tentang letusan merapi dari sudut pandang pemerintah  nampak mendominasi di setiap wilayah dekat gunung merapi. Tulisan ini merupakan pembacaan terhadap mitos baru mengenai gunung merapi yang dihadirkan pemerintah  tersebut. 

Salah satu cara memahami mitos yang sedang dibangun pemerintah terpampang lebar-lebar di berbagai sudut wilayah terdekat merapi. Sebuah spanduk besar dengan tulisan zona berbahaya merapi terlihat di mana-mana. Jika terdapat spanduk itu, maka wilayah itu masuk  sebagai zona merah.  Dari sisi pemerintah tanda itu  bermakna bahwa wilayah itu harus steril dari hunian penduduk. Karena zona tersebut, kata pemerintah, rawan bencana merapi. Hunian yang ada di tempat itu rawan terkena awan panas merapi yang dapat meluluhlantahkan bangunan-bangunan rumah warga.

Penetapan mana daerah yang rawan bencana dan mana yang tidak adalah berdasarkan keputusan BPPT (Badan Penyelidikan dan pengembangan teknologi kegunungapian). Menurut BPPT terdapat 31 dusun yang dikategorikan sebagai daerah rawan bencana erupsi merapi. Peta rawan bencana merapi itu dibuat berdasarkan pengamatan dan penyelidikan mereka terhadap erupsi merapi pada tahun 2010 serta 100 tahun sebelumnya. Nah, kategorisasi inilah yang melegitimasi langkah pemerintah selanjutnya, yang diberi nama besar relokasi. 

Gambar  merapi yang dipilih untuk ditempatkan di spanduk zona merah itu adalah saat gunung merapi sedang meletus dengan awan panas. Kemudian bertuliskan zona berbahaya merapi dengan tanda merah. Dari pemilihan gambar  tersebut  tampak  sebuah  pendisiplinan ingatan pada betapa berbahanya merapi, pengingatan kembali pada letusan gunung merapi yang telah merenggut nyawa serta sanak saudara orang-orang yang berada di wilayah tersebut, letusannya telah menghilangkan segala benda serta beberapa orang yang  mereka cintai.

Gambar itu  meghilangkan realitas lainnya tentang merapi yaitu realitas merapi yang telah menyuburkan tanah sekitar sehingga dapat menyuburkan tanaman, yang biasanya digunakan masyarakat setempat untuk makan sehari-hari atau untuk pakan ternaknya. Realitas bahwa merapi mengeluarkan banyak pasir, batu-batu, air bersih  yang telah banyak digunakan penduduk maupun pengusaha. Realitas bahwa lahan di sekitar merapi lebih subur, lebih sejuk  dari daerah lainnya.  Dan ini realitas lain yang dinafikan dari gambar tersebut, bahwa letusan besar merapi 2010, bukan satu-satunya letusan yang pernah terjadi di gunung merapi. Letusan-letusan lainnya, yang lebih kecil, yang tidak sampai membahayakan keselamatan warga sudah sering terjadi.
Realitas lain yang mengabaikan realitas dari sisi pengalaman penduduk adalah bahwa banyak daerah yang dimasukkan pada zona merah itu, ternyata rumah-rumah itu baik-baik saja saat erupsi 2010 terjadi. Dari pengamatan saya di desa Sidorejo, Pangukrejo, Umbulharjo, Cangkringan yang diletakkan sebagai daerah zona merah, Beberapa rumah penduduk, yang terbuat dari gedek, dari anyaman bambu, yang terdekat dengan merapi memang ada yang hancur. Tetapi rumah penduduk yang terbuat dari tembok, nampak berdiri kokoh dan baik-baik saja. Sehingga penduduk dapat kembali lagi ke rumah mereka tanpa renovasi.   Fakta itulah yang mengukuhkan keyakinan penduduk bahwa kategorisasi yang dibuat pemerintah  semu, pseudo- kategori.  

Bagi penduduk, gambar itu semacam pengingat ketakutan terus menerus. Sebuah pengusiran dari tanah kelahiran mereka. Gambar itu semacam pengingkaran pada penduduk yang menyakini bahwa daerah mereka bukanlah daerah yang rawan bencana.  Usaha pencabutan mereka dari tanah serta para tetangga yang selama ini telah menjadi tanah air mereka. Pemisahan penduduk setempat dari tanah kelahiran mereka, dari kehidupan sosial  yang selama ini menghidupi dan dihidupi mereka semua.  

Dengan demikian, kategori  zona itu adalah sebuah tekhnik memudahkan pemerintah untuk menguasai tanah-tanah serta mengusir penduduk yang ada di tempat itu untuk pindah dari tempatnya. Yang membuat kategori semacam itu sepihak dilakukan pemerintah dengan legitimasi dari ilmuwan-ilmuwan yang menenggelamkan pengalaman serta pengetahuan penduduk setempat.  

Pengetahuan itu kemudian menjadi sebentuk mitos yang lebih sering mengintimidasi penduduk daripada menenangkan mereka. Seperti zona bahaya dengan tanda silang merah. Tanda ini seperti sebuah intimidasi halus, lewat kekerasan simbolik, terhadap penduduk karena diletakkan di tanah di mana penduduk sudah dan sedang  nyaman menghuni rumah-rumah mereka. 

Agar membuat realitas itu semakin menyata, sesuai dengan agenda pemerintah, pemerintahpun melakukan berbagai cara.  Membujuk penduduk agar mau meninggalkan tempat tersebut. Penduduk yang semula bersikukuh tidak mau diusir dari tanah kelahirannya, terus menerus dibujuk dengan menyakinkan bahwa daerah yang sekarang mereka tinggali adalah daerah rawan bencana merapi, sehingga keyakinan merekapun tergoyahkan.   Bahkan, untuk merealisasikan mitos itu, pemerintah  tak segan-segan menyuruh utusan-utusannya ke desa-desa dengan mengkampanyekan mitos itu pada penduduk sebagai satu-satunya kebenaran, yaitu sebuah mitos bahwa daerah mereka benar-benar rawan bencana merapi. Daerah-daerah itupun dibuat kategorisasi menjadi tiga daerah rawan bencana merapi I,II,III. Tak cukup di situ, sebuah organisasi besar yang diberi nama Rekompak telah didirikan untuk memuluskan proyek “relokasi”. 

Representasi merapi sebagai yang berbahaya ini terus menerus diproduksi sehingga menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata. Sebuah mitos, seperti mitos kecantikan, mitos nyai Roro kidul, yang menjelma menjadi kekuatan yang menggerakkan mereka yang mempercayainya, sekaligus melemahkan mereka yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Sehingga bukan hanya   penduduk yang mulai disingkirkan dari alam, tanah serta kehidupan sosial budaya mereka selama ini yang  menjadi tumpuan, menjadi tempat membagi kasih, bahkan telah menjaga alam merapi untuk tidak dieksploitas secara besar-besaran oleh tangan-tangan besi manusia, tetapi juga kepercayaan orang-orang tentang merapi mulai distandarkan. 

Erupsi gunung merapi 2010, yang telah menelan korban nyawa ataupun harta memang realitas, tetapi realita itu sekarang dipolitisir demi memenuhi imaji tentang sebuah taman nasional gunung merapi (TNGM). Imaji TNGM dapat kita saksikan di beberapa tempat seperti di Kinahrejo, yang sekarang menjadi tempat taman wisata yang dikelola penduduk, di situ pemerintah menancapkan baliho bertuliskan kawasan ini masuk dalam TNGM. Tampaklah, kehendak pemerintah mengusir penduduk dari tanahnya, dengan memanfaatkan moment bencana erupsi merapi 2010.  Lalu, bagaimana dengan masa depan penduduk sekitar? Nampaknya tidak ada jawaban, selain beberapa bangunan-bangunan kecil yang lebih layak disebut sebagai kamar dari rumah. 

Fakta bahwa warga telah lama bergelut, bergantung hidup dari keberadaan merapi serta telah menata mimpi di merapi pelan-pelan mencoba dihilangkan dan digantikan dengan pembeku-bakuan akan keankeran merapi, akan bencana merapi. Sebuah bencana yang menjadi alat paling ampuh untuk mengatur warga yang seharusnya  dilindungi serta dijamin hak-hak hidupnya oleh pemerintah. 

Disinilah menyata tesis Foucault mengenai penyebaran kekuasaan yang bersembunyi di balik tembok besar yang bernama pengetahuan. Pengetahuan sepihak dari para ilmuwan yang tidak mengakomodir pengalaman penduduk tentu rawan menimbulkan bencana yang lebih besar dan menakutkan daripada erupsi merapi. Bencana perselingkuhan antara pengetahuan dan kekuasaan menindas para penduduk. Sehingga di sini sebuah kuasa tampak sebagai sesuatu yang produktif. Penetapan zona berbahaya itu tak lain adalah untuk memuluskan proyek taman nasional gunung merapi, yang tentu akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan tertentu tentang gunung merapi, sekaligus menggerakkan apa yang disebut sebagai investasi dengan proyek besar yang diberi nama  “relokasi” penduduk, yang sebenarnya pemilik sah tanah tersebut.  

Rabu, 19 September 2012


Lahirnya   “Ketionghoaan”   di Taman Mini Indonesia Indah
Kali pertama berkunjung ke Taman mini Indonesia Indah, ada rasa  “hampa” dalam diri saya. Luasnya bangunan itu jauh dari identitas yang saya bayangkan maupun inginkan.    Cairnya identitas  tengah  di kotak-kotakkan. Dipangkas menjadi serpihan-serpihan yang seolah-olah bertujuan menyatukan dengan iklan “menghargai perbedaan”.   
Jika saya cermati, reduksionismelah yang menjadi proyek TMII. Keberagaman  itu disunat  hanya pada beberapa agama, suku serta pengetahuan yang dicap sah oleh negara. Buktinya, tidak ada bangunan ibadah  nenek moyang kita yang terukir di sana.  Tidak ada Kahuripan, Samin, Baduwi, Kejawen, serta sejuta pengetahuan, kepercayaan nenek moyang  kita   di sana. Yang ada adalah agama-agama, suku-suku, pengetahuan-pengetahuan yang dibakukan orde baru serta mungkin masih diamini  aparatur negara   hingga sekarang.  
Satu bukti adanya  keanekaragaman bentukan orde baru ini dapat kita baca dari baru dibangunnya Taman budaya Tionghoa Indonesia. Taman budaya ini baru diresmikan 8 November 2006. Hal ini tak terlepas dari  baru diakuinya eksistensi kebudayaan keturunan China di era Gus Dur.  Jadi,  pembekuan identitas ala rezimlah yang dijadikan ukuran  eksis atau tiada di TMII. Dari  membedah  dilahirkannya Tionghoa TMII inilah saya mengerti tentang manipulasi identitas Tionghoa  ala orde baru.
Memasuki gerbang Taman Budaya Tionghoa Indonesia, berdiri tegak tiang-tiang  kokoh  ala   China. Konon, beton-beton itu diimpor langsung dari Xiamen, salah satu  kota di negeri tirai bambu.  Di tembok gerbang tertera sebuah prasasti yang bertuliskan peresmian taman budaya  oleh Soeharto.  Di halaman memasuki gerbang, terletak tepat di tengah halaman  terpacak tiang  bendera merah putih dengan bendera merah putih di puncaknya.    
Di belakang halaman dalam gerbang, yang ditandai dengan tangga menurun,  berdiri rapi nan indah prasasti   Sampek  Eng Tai,   patung Dewi Kwan Im, monumen Sun Go kong serta  beberapa patung batu  dari negeri China yang saya lupa namanya. 
Paling belakang dari  prasasti-prasasti  itu terdapat  patung Laksamana  Cheng Ho.  Seorang laksamana dari China yang dipercayai sebagai penyebar  agama islam di nusantara. Dengan jubah kebesaran serta tangan yang menunjuk, seperti mengarahkan pasukan, patung Cheng Ho menghadap ke sebuah sungai yang berada di belakang satu atau dua kaki dari monumen Kera Sakti Sun Go kong. Sungai itu juga berfungsi untuk memisahkan prasasti Cheng Ho yang menandai kedatangan orang  China di Indonesia dengan prasasti-prasasti lainnya.
Secara sintagmatik, prasasti-prasasti itu dikelompokkan berdasarkan konsep geografis. Mitos-mitos yang  berasal dari negeri China ditempatkan sebelum patung laksamana Cheng Ho. Berbagai tanda-tanda kebajikan  itu  mengelompok membentuk   konsepsi geografis China.  Sementara sekelompok lukisan bergambar  berbagai kegiatan yang pernah dilakukan laksamana Cheng Ho di Indonesia  serta  gambar tokoh-tokoh indonesia  seperti Soe Hoek Gie , yang diletakkan  tepat di belakang patung laksamana Cheng Ho,   membentuk konsepsi geografis indonesia.
Laksamana Cheng ho yang datang dari China adalah jembatan antara kebudayaan China dan Tionghoa. Sehingga ada keterpisahan nenek moyang kebudayaan antara orang-orang Tionghoa atau keturunan China Indonesia dengan orang Indonesia yang “asli” berdarah indonesia.
Secara paradigmatik, penataan prasasti-prasasti  taman tengah hingga ke patung laksamana Cheng Ho,   bisa dimaknai sebagai adanya sifat temurun pada kebudayaan. Ada bibit asli  China yang membentuk  identitas masyarakat  Tionghoa Indonesia  . Penurunan ini seperti penurunan secara biologis darah yang mengalir dari kakek pada cucunya.  Seakan-akan tidak ada campur tangan budaya  lain yang membauri kebudayaan Tionghoa indonesia. Seolah-olah, patung-patung, bangunan-bangunan itu  mengatakan bahwa bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia murni berasal dari satu negeri, yaitu China, yang disana, yang bukan indonesia, Malaysia, Amerika, Afrika dan lain sebagainya.
Meski begitu ada tanda-tanda lain yang meringkus mitos-mitos itu  atau yang dapat saya baca sebagai sebentuk kuasa yang memproduksi mitos-mitos itu. Kita dapat membaca kuasa itu dari tanda bertuliskan nama Soeharto serta bendara Indonesia di sana. Maka,jelaslah bahwa  mitos-mitos itu adalah produk  identitas Tionghoa ala orde baru. Mitos-mitos yang diciptakan penguasa otoriter.   Sementara Bendera saya maknai sebagai alat penguasa  untuk memberi label formal, legal, sah. Imaji macam apa yang dikehendaki sang penguasa, yang sah, yang formal, yang legal pada pembentukan Ketionghoaan selanjutnya dapat pula kita baca dengan otak-atik gatuk berikut ini.
Jika kita membandingkan TBTI dengan bangunan-bangunan suku lain seperti suku jawa, padang, manado dan lain-lain, terbaca kegagahan serta kemegahan  taman ini. Kemegahan ini tampak dari besarnya bangunan serta luasnya tanah yang jauh melebihi luasnya ruang suku lain. Konon akan dibangun seluas 4,5 hektar. Hampir menyamai seluruh luas suku-suku lain. Hal ini seragam dengan mitos kechinaan ala orde baru. Yaitu mitos bahwa orang china itu adalah orang-oarng yang berlimpah  kekayaannya yang disimbolkan dengan megah dan luas bangunan ini.
 Penamaan yang berbedapun menunjukkan kesadaran ‘pembedaan’ yang sengaja dihadirkan. Jika suku-suku lain diberi nama anjungan, maka etnis tionghoa diberi nama Taman Budaya.  Ada jarak yang sengaja dibangun antara etnis tionghoa dengan etnis-etnis lainnya di TMII. Penegasan bahwa orang-orang China ini memiliki nenek moyang dari negeri China sana, bukan keturunan China yang sudah lama menetap dan adalah warga Indonesia.   
Kebesaran yang dihadirkan ini seolah-olah pengakuan masyarakat indonesia pada  keberadaan orang-orang Tionghoa. Padahal suku Tionghoa itu adalah produk orde baru. Sejarah pengkotak-kotakan pribumi dan china merupakan rekayasa yang dimulai pada era kolonial Belanda. Model politisasi pengkaplingan identitas dari konsep geografis  ini dilanjutkan di era orde baru. Soeharto memanipulasi  identitas  rakyat indonesia dengan pembentukan taman mini indonesia indah salah satunya. 
Pengkotak-kotakan itu bertujuan untuk mengidentifikasi, selanjutnya  memudahkan kebijakan.  Di era orde baru, ketionghoan digunakan untuk mengebiri hak keturunan china sebagai warga negara. Hak mereka untuk mendapatkan keamanan, kedamaian dipotong dengan wacana kechinaan. Artinya, orde baru ketika itu memanipulasi ketionghoan. Manipulasi di sini bukan berarti membohongi, tetapi menggunakan seperangkat identitas  itu demi kepentingan kuasa. Artinya, patung-patung, bangunan-bangunan  itu sengaja dipilih  menjadi alat untuk menguasai sekaligus mengontrol kesadaran orang-orang yang melihat. Pendisiplinan  kesadaran ruang tentang siapa orang-orang indonesia Tionghoa membentuk kesadaran imajinatif tentang  siapa saya dan siapa di luar saya. Tentang pengklasifisian yang  saya dan yang di luar saya, yang bukan bagian saya.
The othering orang-orang Tionghoa pada masa orde baru berdampak pada kekerasan membabi buta pada penduduk indonesia ini. The othering inilah yang dimanfaatkan untuk membentuk saya yang jawa yang secara konsep geografis masuk dalam indonesia dan Tionghoa yang secara konsep geografis  masuk dalam China dan Indonesia.  Di sinilah manipulasi memainkan peranannya. Untuk menjawakan saya atau mencinakan orang lain, tentu saja  tak melulu melalui  sesuatu yang  kita benci, bahkan manipulasi itu juga bisa lewat penyanjungan melalui dan atas nama suku.
Akhirnya,  melalui pembacaan secara struktural terhadap Taman Budaya Tionghoa Indonesia itu, saya melihat  lahirnya identitas  ketionghoan di TMII  itu berwujud  imaji ruang dua negara bangsa yang berbeda yaitu china dan indonesia.  Adanya pengkaplingan tentang yang Tionghoa dan yang bukan.  Adanya imaji tentang diturunkannya, seperti secara biologis,  sebuah kebudayaan. Dalam hal ini dari kebudayaan China ke penduduk indonesia keturunan China .  Dan imaji Tionghoa semacam inilah yang ditanam, disirami dan buahnya pernah  dipetik  orde baru.










Senin, 06 Agustus 2012


Perempuanku…
Begitulah  tabuan-tabuan itu dialunkan  
Sungguh  tengah telah  mengubur hati yang paling bahagia
Sungguh seribu satu bermacam malam …
Perempuan itu  menghibur sejuta hati ..
Menebus segala pedih luka yang menggema
Mengenyalkan segala surga  yang lama ia tanam
Meski berkali-kali ia terkubur  pada plastik paling dipuja
Cukup segala paling lara dada menabuhkan  perayaan termuka
Menyenangi segala sandiwara itu-itu jua...


Selasa, 07 Februari 2012


Kutata dan kucipta
mencari setubuh kutu
Memilih yang paling terurai
Inci pertanyaan
masih  kau jawab dengan kebekuan

Jumat, 03 Februari 2012

Aku ingin pelangi
Tetapi awan gelap menyelimuti kerinduanku
Lalu kusesap awan itu dengan aneka doa
Kubiarkan ia memasuki seluruhku
Kubiarkan ia bersemanyam di sana
Di sudut yang mungkin tak kau punya
(Untukmu yang kurindui saja )

Lelaki


Lelaki paling gemuruh di dalam
Rangkaian kata tak terukur yang selalu kau simpan
Rapat menumpuk putih tersucikan  
Berderit lembut irama bambu yang menyejukkan


Inginku  menyusup diam-diam
Bagai bayi  yang mengingini  puting ibunya
Seperti air mata yang hadir dalam kesedihan
Atau tawa meledak di bibir yang bahagia

Lelaki yang menghuncam ke dalam
Jika sekarang jiwaku singgah di labuhmu,
Sudikah  kau merawatnya?
Cukup  lewat hembusan nafas lembutmu di telinganya